Cerpen "Penantian"

Penantian

Oleh : Irma Lestari

Hari mulai gelap saat Isah meninggalkan jalanan, berjalan dengan sapu dan pengki di tangan. Baju tipis dan lusuh menjadi pelindung panasnya terik matahari, dengan sepatu koyak berwarna hitam sebagai alas.

Cerpen "Penantian"

Kini perjalanan menuju rumah amat sepi dirasa, tidak ada lagi si pembuat tawa dengan celotehnya. Hanya orang yang tengah berlalu lalang, bersama sanak saudara. Angin sore bertiup lirih menerpa wajah sendu milik janda berparas ayu itu,  memberi sedikit kesegaran dari peluh yang bercucuran.  

Pikirannya dipenuhi dengan wajah si kecil Intan, gadis berusia enam tahun itu pasti sudah menunggu. Apalagi ia dititipkan pada sang bibi, yang tidak terlalu menyukainya. 

Setelah kepergian Hadi, setiap pagi Isah membawa Intan pada Sapti iparnya. Hanya dengan dibekali nasi tanpa lauk dan uang dua ribu rupiah. Bukan mudah untuk membujuk Sapti agar mau menjaga si kecil, setelah pulang bekerja Isah harus membersihkan rumahnya sebagai bayaran.

"Nih, anakmu. Bawa dia pulang!" ketus Sapti

menyeret Intan keluar 

dari rumahnya.

Isah menatap iba terhadap sang anak, ia memeluk Intan dengan air mata bercucuran. Rasa sakit yang tak bisa diucapkan, melihat buah hati diperlukan sekenanya.

Segera Isah menyeka air mata dengan telunjuk dan ibu jari, kemudian tersenyum pada Intan yang menatapnya sayu. Sapti memutar bola mata malas, menyaksikan drama ipar dan ponakannya. 

"Hatur nuhun yah, Nyi," ucap Isah, menengadah menatap Sapti.

"Iya, sami-sami," balas Sapti, masih dengan wajah tidak sukanya. "

Makanya Teh, 

punya wajah cantik itu dimanfaatin, 

pake buat nyari suami lagi. 

Biar nanti ada yang kasih nafkah, terus si Intan Teteh yang jaga. Jadinya enggak repotin orang." 

Isah tertegun mendengar penuturan iparnya, Sapti selalu meminta agar ia segera menikah lagi. Alasannya karena tak ingin direpotkan dengan kehadiran si Intan setiap pagi, juga kasihan melihat Isah harus bekerja dari pagi sampai sore untuk menghidupi keluarga. 

"Ya udah, 

Teteh mau beresin 

rumah dulu," 

ucap Isah. "Neng, pulang duluan, ya. Nanti Emah nyusul." 

Intan mengangguk dan berjalan menuju rumahnya, dengan menenteng boneka lusuh yang dibeli satu tahun lalu oleh Hadi ketika masih hidup. 

Baca Juga Cerpen Gadis Bisu

*

Selesai membersihkan rumah Sapti, Isah menghampiri Intan yang tengah berbicara pada bonekanya. Ia terlihat asyik sampai kehadiran Isah tak disadari. Suara takbir dari masjid, saling bersahutan  seiring dengan bedug yang dipukul senada. 

Menandakan bahwa besok 

adalah hari Raya Idul Adha.

Dia teringat kembali pada suaminya, saat masih ada suara Hadi yang terdengar dari speaker masjid. Lagi air mata itu tumpah, mengingat kejadian beberapa bulan lalu sebelum akhirnya Hadi menghembuskan napas terakhir.

*

"Mah, si Eneng kenapa nangis tadi?" 

tanya Hadi,

 lalu membuka sarungnya, 

hingga menyisakan 

celana hitam polos. 

Isah yang tengah mengisikan air, menghentikan aktivitasnya. "Kapan?"

"Pas tadi si Eneng pulang main." 

Kembali Isah melanjutkan pekerjaannya yang terhenti, lalu menyodorkan gelas itu pada Hadi. "Oh, yang itu. Si Eneng tadi cerita, katanya dia lihat temen yang lain makan sama daging sapi. Eh, dianya kepengen." 

Setelah meneguk air yang diberi Isah, Hadi meletakkan gelas itu di meja. Kemudian menatap sang istri yang tengah melipat baju. 

"Mah, kalau nanti Babah punya uang, 

pasti si Eneng Babah beliin daging sapi." 

"Aih, Babah, nih. Kalau kita punya uang mah, abis buat bayar utang sama bi Sumi," ejek Isah diakhiri kekehan. 

Wajah Hadi berubah menjadi mendung, tapi tak turun rintik hujan. "Mah," panggil Hadi, yang dibalas deheman oleh Isah.

"Bentar lagi, 

'kan Lebaran Idul Adha, 

nanti pasti ada yang qurban. 

Kalau kita kebagian, kita kasih dagingnya buat si Eneng biar dia seneng." 

"Iyah, Bah. Nanti Babah gendong si Eneng, Emah yang ngambil dagingnya!" seru Isah bersemangat.

*

"Neng, kenapa belum tidur?" tanya Isah membelai rambut Intan.

Intan berbalik dan menggeleng dengan wajah cemberut khas anak kecil, kemudian memeluk sang ibu erat. 

"Mah, 

nanti kalau kerja 

Eneng ikut sama Emah aja." 

"Kenapa?" tanya Isah, melerai pelukan. 

"Eneng gak mau tinggal 

sama bi Sapti, 

tadi aja dia marahin Eneng. 

Gara-gara ganti chanel-nya jadi kartun, padahal dari tadi bibi nontonnya orang yang nangis mulu," adu Intan. 

Isah terkekeh pelan mendengar jawaban anaknya, sangat menggemaskan. Pantas saja Sapti menyeret Intan saat ia datang, ternyata itu alasannya. 

"Eneng gak boleh ngambek atuh 

sama bibinya, 

'kan bibi udah jagain Eneng. 

Lagian itu TV-nya bi Sapti, jadi terserah si bibi mau nonton apa aja." 

Intan memberengut kesal karena sang ibu tidak membela, ia memalingkan wajah pada bonekanya. Kebiasaan yang dilakukan saat marah. Isah mengambil boneka itu, lalu menangkup kedua belah pipi Intan.

"Eneng inget gak? Kata Babah, kita tidak boleh marah sama orang lain." Intan mengangguk.

"Eneng minta maaf, 

Eneng kesel sama bi Sapti. En--"

Isah menutup mulut Intan dengan satu jari. 

"Udah, 

Emah udah maafin Eneng, kok." 

Lalu melepas kembali tangannya.

"Neng sekarang mending tidur, 

besok, 'kan kita Salat Sunnah. 

Eneng juga mau daging qurban, 'kan?" Intan mengganguk bersemangat. 

"Besok kita tunggu, 

yah semoga kita dapat dagingnya."

*

"Mah, 

kok gak ada yang nganterin 

daging sama kita?" 

tanya Intan, 

entah yang ke berapa kali.

"Bentar lagi mungkin, 'kan panitianya sibuk." 

Sudah seharian penuh mereka menunggu di depan pintu, tapi panitia tak kunjung datang menghantarkan daging yang diinginkan Intan. 

"Eneng mau tidur aja, 

siapa tahu pas Eneng bangun 

dagingnya udah ada." 

Intan beranjak menuju kamar 

dan membaringkan tubuhnya di kasur.

Isah merasa kasihan terhadap anaknya, dia selalu menunggu hari Raya Idul Adha tiba, agar bisa menikmati daging qurban seperti temannya yang lain. Namun, pada kenyataannya apa yang diharapkan tidak terjadi. 

Setelah menimbang-nimbang akhirnya Isah memutuskan, untuk pergi ke tempat di mana penyembelihan hewan qurban itu diadakan. Ibu mana yang tega melihat anaknya bersedih, apa pun akan dilakukan agar senyum merekah kembali di wajah si buah hati.

Sesampainya di sana, suasana sudah sepi tidak ada orang lain kecuali dirinya. "Cari siapa, Teh?" tanya seseorang membuat  Isah terkejut.

"Astagfirullah, Mang Gani, nih. Bikin kaget aja, saya enggak cari siapa-siapa." 

"Terus ngapain atuh Teh, di sini?" 

"Emm ... sa--saya ...."

"Masha Allah, jadi gitu ceritanya?!" tanya Gani kaget.

Isah mengangguk, setelah menceritakan tentang Intan yang sangat menginginkan daging qurban. 

"Teh Isah, emm ... gimana, yah. Tapi maaf, dagingnya udah habis dibagiin." Gani menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. 

Isah tampak kecewa dengan penuturan Gani, yang bertolak belakang dengan harapan sang anak. Ia kemudian menundukkan kepala, agar tidak terlihat bahwa air matanya sudah menggenang. 

Mau bagaimana lagi, Isah harus menerima bahwa tahun ini keinginan sang suami belum tercapai. Mungkin tahun depan cita-cita Hadi bisa menjadi kenyataan.

Gani selaku panitia merasa bersalah atas keteledoran yang ia dan panitia lain lakukan. "Saya minta maaf, Teh," ucap Gani. 

"Ini bukan salah Mang Gani, 

mungkin belum rezekinya aja." 

"Ada apa ini?" tanya seseorang mengagetkan keduanya. 

"Pak Awan, ini Pak, Teh Isah gak kebagian daging qurban," balas Gani. 

"Astagfirullah mengapa bisa begitu?"

"Ini salah saya Pak, saya teledor selaku panitia," sesal Gani.

"Bukan, ih. Ini emang bukan rezeki saya aja." Isah menatap kedua lelaki yang berdiri di depannya. 

"Sudah, 

Mang Gani gak usah nyalahin diri sendiri, 

semua manusia pasti pernah melakukan salah. 

Dan buat Teh Isah, saya masih punya daging qurban buat neng Intan. Kebetulan istri saya lebaran di kampung, jadi dagingnya gak ada yang masak. Saya juga mau nyusul istri, daripada gak ada yang makan, mending buat Teh Isah sekeluarga aja," ucap Awan.

Wajah yang tadi sendu kini berubah berbinar-binar, air mata haru luruh dengan senyum yang mengembang. "Makasih banyak, Pak."

Awan hanya mengangguk dan menyerahkan kantung keresek berisikan daging sapi yang masih segar. Isah menerima dengan hati yang bahagia, karena si kecil bisa menikmati makanan yang selalu didambakan.

#Danakaget

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter