Cerpen - Rumah Kecil Di Bukit Sunyi

Rumah Kecil Di Bukit Sunyi
Di atas bangku bambu reyot, Pak Kerto meluruskan kedua kakinya. Beberapa saat kemudian, ia beranjak dari bangku dan melangkah ke bilik belakang yang hanya dibatasi oleh anyaman daun rumbia. Diambilnya beberapa potong ubi dari panci dan  diletakkannya di atas selembar daun pisang. Ia kembali ke depan dan menikmati ubi rebus sambil meminum kopi.
            Tiba-tiba pintu terbuka dan laki-laki dengan perut gendut muncul. “Ooo... Juragan. Sillakan, Gan”, sambut Pak Kerto sambil membungkuk. Dengan tergesa dibersihkannya bangku bambu yang sudah reyot itu. “Bagaimana? Apakah semuanya sudah beres?” tanya sang juragan.
            “Sebagian sudah saya panen, Gan. Tinggal ladang sebelah kanan parit. Silakan juragan periksa hasil panenan itu”.
“Di mana kau letakkan, Kerto?”
“Ada di samping rumah, Gan. Ada enam karung terigu. Bagus-bagus hasil panenan kali ini”, kata Pak Kerto.
Kedua orang itu melangkah ke samping rumah. Sang juragan segera mendekati tumpukkan karung. Sesaat, dibukanya salah satu karung dan diambilnya sehelai daun yang ada di dalamnya, kemudian sehelai daun itu diciumnya. “”Ahhh, luar biasa!” teriaknya kegirangan, “Bagus...bagus sekali panenan kali ini, Kerto”, lanjut juragan itu sambil menepuk punggung Pak Kerto. Hati Pak Kerto bahagia telah membuat juragan senang. Ia akan mendapa tambahan upah. Watak juragan memang begitu, kalau sedang senang ia tak segan-segan memberi tambahan upah.
“Enam karung ini disimpan yang baik dan jangan sampai kena hujan.Dua hari lagi aku akan kembali ke sini mengambil semua hasil panenan”, ucap juragan sambil meninggalkan Pak Kerto.
Sepeninggal juragan, Pak Kerto berbaring sambil berselimut sarung. Ia tak dapat tidur. Pikirannya menerawang jauh. Pak Kerto ingin membelikan kain kebaya buat istrinya dan dua sandal plastik buat kedua anaknya. Hatinya bahagia karena sebentar lagi ia akan pulang untuk melepas kerinduan kepada istrinya dan kedua anaknya. Pikirannya tertuju pada pohon-pohon kecil di ladang sebelah kanan parit yang besok harus dipanen. Ia tak habis berpikir, untuk apa juragan menyuruh menanam pohon-pohon itu. Ia tidak tahu nama pohon yang bentuknya hampir mirip tanaman cabai. Pak Kerto hanya tunduk dan patuh pada perintah juragan. Ia merawat tanaman dengan baik. Ia tak bergaul dengan orang-orang disekitarnya.
Saat Pak Kerto hampir lelap, terdengar suara orang mengetuk pintu. Pak Kerto berpikir sang juragan datang lagi. Dengan langkah yang tergesa-gesa Pak Kerto menuju ke pintu.
“Sebentar Gan, sebentar...” kata Pak Kerto sambil membuka palang pintu. “Biasanya kan langsung masuk, Gan”, lanjutnya sambil menguak daun pintu.
Pak Kerto merasa aliran darahnya terhenti ketika didepanya berdiri empat orang polisi dengan senjata di tangan.
“Jangan bergerak!”, gerak salah seorang polisi. Ketiga polisi lainnya langsung masuk rumah kecil itu. Pak Kerto berdiri kaku, mematung, tidak tahu apa yang terjadi.
“Maaf, Bapak saya tangkap”, kata polisi sambil mendekat dan memborgol kedua tangan Pak Kerto.
“Apa saah saya, Pak?” tanya Pak Kerto terputus-putus.
“Bapak telah menanam dan menyimpan pohon ganja. Pemerintah melarang menanam pohon itu”, jawab polisi itu tegas.
“Tapi saya hanya disuruh juragan. Saya hanya melaksanakan perintah juragan, Pak”, kata Pak Kerto tertunduk.
“Saya mengerti dan memahami keadaan Bapak. Juragan Bapak sekarang ada di tahanan polisi”.
Polisi itu menyuruh Pak Kerto berjalan menuruni lereng perbukitan. Sedangkan, ketiga polisi lainnya memanggul beberapa karung terigu yang berisi daun ganja dengan dibantu beberapa peladang yang kebetulan berada di sekitar perbukitan itu. Pak Kerto tertunduk bisu. Inilah jawaban atas teka-teki tanaman itu, ya, dua tahun lebih baru terjawab sekarang. Pipi keriput lelaki tua itu basah oleh air mata. Rumah kecil di atas bukit semakin jauh ditinggalkan. Tuhan, jerit Pak Kerto lirih.



Related Posts

There is no other posts in this category.

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter